Selasa, 08 September 2015

HUKUM DAN SEJARAH NIKAH MUT'AH

    Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti senang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya sebelum meninggal dan berakhirnya masa nikah mut’ah itu.

Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.

Al-Qurtubi menukil pendapat seorang ahli tafsir, Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusi, bahwa Nikah Mut’ah adalah “Seorang lelaki menikahi wanita dengan dua orang saksi dan izin wali hingga waktu tertentu, tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya. Si lelaki memberinya uang menurut kesepakatan keduanya. Apabila masanya telah berakhir, maka si lelaki tak mempunyai hak lagi atas si wanita, dan si wanita harus ber-istibra’/membersihkan rahimnya. Apabila tidak hamil, maka ia dihalalkan menikah lagi dengan lelaki lainnya.” Al-Qurtubhi mencela pendapat yang tidak mempersyaratkan adanya persaksian. Kata A-Qurthubi, “Hal itu adalah perzinaan. Sama sekali tidak dibolehkan dalam Islam.”

Nikah mut’ah awalnya dimulai dari medan perang. Kala itu, mayoritas tentara Islam adalah dari golongan pemuda, yakni pria lajang yang tak sempat mengikat dirinya dengan ikatan benang kasih di bawah atap pernikahan. Sebagai manusia biasa, bersama gelora darah jihadnya di padang pasir untuk menancapkan syiar Islam, gelora birahi mereka sebagai gejala fitrah insani juga ikut menggejolak, menuntut untuk segera dipenuhi. Mereka menncoba memasung goncatan syahwat itu dengan melakukan kontak senjata dengan tentara musuh, maka puasa bukanlah solusi efektif untuk meredam hasrat jiwa yang menyiksa, karena fisik mereka menjadi lemah. Kondisi inilah yang kemudian mengantar ide disyariatkannya nikah mut’ah atau masyhur disebut “kawin kontrak”. Fakta sejarah ini dibuktikan dengan beredarnya banyak hadits yang melegalkan nikah mut’ah untuk prajurit yang sedang berperang.

Dari kilas balik sejarah ini, jelas terbaca bahwa disyariatkannya nikah mut’ah hanya pada saat terjadi perang,, yakni di saat para sahabat berpisah dengan keluarga tercinta untuk menunaikan tugas suci, jihad. Seperti pada waktu terjadinya perang Khaibar, Umrah Qadha, Fathu Makkah, perang Authas, perang pasca-Fathu Makkah, perang Tabuk, dan pada saat Nabi melakukan haji wada’. Di sanalah mereka diberi keringanan oleh baginda nabi untuk nikah dengan penduduk di tempat mereka mempertaruhkan nyawa untuk membela agama. Setelah selesai perang, putuslah tali pernikahan itu karena kontraknya telah habis.

Lalu, bolehkah kita mempraktikkannya saat ini? Terjadi silang pendapat antara golongan Sunni dan Syi’ah menyoal keabsahan praktik nikah mut’ah untuk masa sekarang. Imam Nawawi sebagai duta dari golongan Sunni menuturkan siklus haram-halalnya nikah mut’ah. Pada masa pra perang Khaibar dan pada tahun yang sama nikah mut’ah diharamkan kembali. Sebaliknya, pada Fathu Makkah (perang Authas) nikah mut’ah sempat dilegalkan dan diabsahkan, tetapi setelah itu untuk selamanya tidak ada lagi pintu masuk untuk melakukan akad nikah seperti itu.
Pendek kata, menurut mazhab Sunni, nikah mut’ah hukumnya haram. Pendapat ini dilandaskan pada hadits Nabi:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الرَّبِيْعِ بْنِ سَبْرَةَ الْجُهَنِيِّ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صل الله عليه وسلم بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِيْنَ دَخَلَنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah Al Juhani dari Ayahya dari Kakeknya dia berkata: Rasulullah SAW pernah memerintahkan nikah mut’ah pada saat penaklukan kota Makkah dan Kami tidak keluar (dari Makkah) melainkan beliau telah melarangnya.” (HR. Imam Muslim).
Sementara mazhab Syi’ah dengan tegas tetap mengizinkan dan membolehkan dilaksanakannya nikah mut’ah di era modern ini. Walaupun andalan argumen mereka tetap merujuk pada pendapatnya Ibnu Abbas. Golongan Syi’ah membantah pendapat yang mengatakan bahwa nikah mut’ah hanya berlaku pada saat terjepit dengan menganalogikannya pada kasus memakan bangkai dan darah. Nampaknya penyamaan itu kurang relevan. Kelompok yang dalam sejarah dikenal sebagai kelompok ahlul bait ini memasang beberapa syarat untuk meresmikan nikah mut’ah sehingga mendapat justifikasi agama. Untuk perempuan yang akan dinikah tidak disyaratkan Muslimah, boleh dari perempuan kitabiyah (Nasrani atau Yahudi). Syarat selanjutnya, harus ada perjanjian hitam di atas putih tentang mahar (maskawin) dan batas waktu kontrak. Sementara untuk soal wali dan saksi kelompok ini tidak mewajibkannya.
Pendapat mazhab Syi’ah ini tampaknya memiliki kelemahan metodologi Istidlal karena Ibnu Abbas sendiri yang menjadi pijakan pendapat mereka telah menarik kembali komentarnya yang membolehkan nikah mut’ah.

Allah SWT telah berfirman:

"Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali
terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela"(QS. Al-mukminun: 5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah.
Semua ulama dan fuqaha sepakat mengharamkan nikah mut’ah, berdasarkan hadits-hadits shahih yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah. Nabi SAW telah menjelaskan, bahwa keharaman nikah mut’ah itu untuk selama-lamanya sampai hari kiamat. Sebagaimana dalam hadits riwayat Saburah bin Ma’bad Al-Juhani:

وحَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ عَنْ ابْنِ أَبِي عَبْلَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَقَالَ أَلَا إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ
“Dan telah menceritakan kepadaku Salamah bin Syabib telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin A'yan telah menceritakan kepada kami Ma'qil dari Ibnu Abi Ablah dari Umar bin Abdul Aziz dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan nikah mut'ah seraya bersabda: "Ketahuilah, bahwa (nikah mut'ah) adalah haram mulai hari ini sampai hari Kiamat, siapa yang telah memberi sesuatu kepada perempuan yang dinikahinya secara mut'ah, janganlah mengambilnya kembali.” (HR. Imam Muslim).
Ulama Ahlussunnah wal Jamaah menjelaskan: Nikah mut’ah pada permulaan Islam memang dibolehkan, kemudian dinasakh. Oleh sebab itu, nikah mut’ah dilarang dan hukumnya haram sampai kini dan seterusnya.
Tentang pendapat Syi’ah yang memperbolehkan nikah mut’ah itu tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan nash-nash al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’ ulama Islam dan imam ahli ijtihad.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair serta Zuhair bin Harb semuanya dari Ibnu 'Uyainah. Zuhair mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Az Zuhri dari Al Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali dari ayahnya dari Ali bahwa pada saat perang Khaibar, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan nikah mut'ah dan melarang memakan daging keledai jinak.” (HR. Imam Muslim).
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali ra .dari Rasulullah SAW. Bagaimanakah orang-orang Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah? Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari mengutip dari Imam al-Khatthabi,, ia berkata: Pengharaman nikah mut’ah itu seperti menjadi ijma’, kecuali menurut sebagian orang nikah mut’ah itu seperti menjadi ijma’, kecuali menurut sebagian orang Syi’ah. Padahal menurut Padahal menurut riwayat yang shahih dari Imam Ali, bahwa nikah mut’ah telah dinasakh. Dengan demikian, maka klaim golongan Syi’ah tentang kehalalan nikah mut’ah adalah batil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar